วันอังคารที่ 18 มกราคม พ.ศ. 2554

Islam dan Negara

Islam dan Negara
Konsep masyarakat politik (polity) dalam Islam terutama haruslah didasarkan pada ajaran Al-Qur'an. Dan sejauh menyangkut kitab suci ini, dapat dimengerti sepenuhnya bahwa sejak semula Al-Qur'an tidak memberikan konsep tentang negara, melainkan konsep tentang masyarakat. Perbedaan ini harus diingat dalam perdebatan tentang negara Islam. Harus diingat pula, Al-Qur'an lebih bersifat simbolik daripada deskriptif dan karena itu validitas dan vitalitasnya terletak pada interpretasi dan reinterpretasi simbol-simbol ini, sesuai dengan perubahan-perubahan situasi ruang dan waktu.
Ada perbedaan pandangan tentang konsep negara dan masyarakat politik dalam Islam.[1] Ali Abd al-Raziq dalam bukunya "Fundamentals of Government" (al-Islam wa ushul al-Hukm) berpendapat bahwa Islam tidak pernah mengklaim suatu bentuk pemerintahan duniawi; hal ini diserahkan untuk dipikirkan secara bebas oleh pemeluk-pemeluknya. Lebih lanjut ia menyebutkan, bahwa Al-Qur'an tidak pernah menyebut khalifah; artinya kekhalifahan bukanlah bagian dari dogma Islam. Ide tentang kekhalifahan dibuat oleh kitab-kitab fiqh yang disusun beberapa abad setelah wafatnya Nabi.[2] Di pihak lain, ada pula pendapat yang umumnya dianut oleh ulama kita, bahwa agama dan politik merupakan dua hal yang tak dapat dipisah-pisahkan dalam Islam. Pendapat ini umumnya diterima oleh kaum Muslim ortodoks. Namun, persoalannya menjadi sangat kompleks dan berjalin dengan berbagai faktor sehingga sangat sulit dipadukan begitu saja dengan pendapat lain.
Untuk memahami masalah ini secara tepat, kita mesti mempertimbangkan beberapa kondisi politik yang ada di Mekkah sebelum Islam dan bagaimana masyarakat Islam secara bertahap mulai terwujud. Mekkah, sebagaimana telah dikemukakan pada bab yang lalu, didominasi oleh suku Quraisy, yang terdiri dari bermacam-maca klan. Tentu, ada beberapa suku lain selain Quraisy, namun posisi mereka subordinatif dan pinggiran. Menarik untuk ditelaah, bahwa meskipun merupakan pusat perdagangan internasional, Mekkah tidak mempunyai struktur pemerintahannya sendiri. Lembaga kerajaan tidak dikenal, tidak pula ada perangkat negara yang dapat dibandingkan dengan negara mana pun.
Tidak ada penguasa turun temurun, juga tidak ada pemerintahan yang dipilih secara formal. Yang ada hanyalah suatu dewan suku yang dikenal dengan mala' (semacam senat). Senat ini terdiri dari perwakilan klan yang ada. Hal penting yang mesti dicatat mengenai mala' ini, ia hanya berupa badan perundingan dan tidak mempunyai badan eksekutif. Di samping itu, setiap unsur klan yang ada di senat secara teoritik independen, dan karena itu, keputusan yang dilahirkan tidak mengikat.[3] Mala' tidak mempunyai hak untuk menarik pajak dan melengkapi dirinya dengan polisi atau angkatan bersenjata, yang merupakan perangkat bagi sebuah negara untuk menegakkan hukum dan menjaga ketertiban umum. Namun, perkembangan dunia perdagangan yang begitu pesat, pada akhirnya menuntut adanya perangkat kenegaraan. Di tengah kekosongan negara secara institusional, maka tidak ada teori politik yang koheren yang bisa menjelaskannya. Paling-paling orang hanya bisa mengatakan, bahwa sebelum kemunculan Islam di Mekkah terdapat demokrasi kesukuan primitif.
Di Medinah lah Nabi mulai memberikan perhatian yang cukup serius untuk menciptakan suatu organ yang dapat diterima semua pihak untuk menangani semua urusan yang ada di kota itu. Menarik untuk dicatat, bahwa masyarakat Medinah adalah masyarakat pluralistik baik dari segi ras maupun agama. Di sana terdapat campuran ras Yahudi, Arab pengelana, terutama yang termasuk ke dalam dua suku Aus dan Khazraj, serta kaum Muslimin emigran dari Mekkah.
Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa heterogenitas masyarakat Medinah waktu itu, sama dengan masyarakat di negeri-negeri sekuler modern dewasa ini. Negeri dengan ragam ras, suku dan agama itu dipersatukan di bawah kepemimpinan Nabi dan itulah yang disebut ummah. Meskipun seringkali kata ummah diterapkan hanya untuk komunitas Muslim, tapi sulit bagi kita untuk mendukung klaim seperti itu.
Barakat Ahmad mengatakan, "Para orientalis membeda-bedakan perkembangan istilah Al-Qur'an tersebut. Sebagian sarjana Muslim menyatakan bahwa istilah ummah menggambarkan masyarakat Muslim, tapi ini tidak seluruhnya benar. Istilah ini menggambarkan kedudukan secara de facto. Secara teoritik, penggunaan istilah ummah selama karir kerasulan tidak terbatas pada komunitas Muslim saja.[4] Nabi membuat suatu masyarakat politik di Medinah berdasarkan konsensus dari berbagai kelompok dan suku. Konsensus yang disusun oleh Nabi itulah yang dikenal dengan Piagam Madinah atau Sahifah. Dan masyarakat yang terikat dengan perjanjian itu disebut "masyarakat Sahifah".[5]
Bagi masyarakat Arab yang sebelumnya tidak pernah hidup sebagai komunitas antar-suku dengan kesepakatan bersama, dokumen seperti itu tentulah sangat revolusioner dan mendukung inisiatif Nabi untuk membangun basis bagi berlakunya prinsip hidup berdampingan secara damai (co-existence). Nicholson mengkomentari dokumen ini:
"Tidak ada seorang peneliti pun yang tidak terkesan pada kejeniusan politik penyusunnya. Nyatalah bahwa memperbaharui dengan hati-hati dan bijaksana, adalah realitas suatu revolusi. Muhammad tidak menyerang secara terbuka indenpedensi suku-suku tersebut, tetapi memusnahkan pengaruhnya dengan mengubah pusat kekuatan dari suku ke masyarakat ..."[6]
Kiranya pada tempatnya, jika kita perhatikan beberapa ketentuan dari Sahifah itu. Ibnu Hisyam menyampaikan kepada kita: "Ibnu Ishaq berkata, bahwa Rasulullah menyusun suatu persetujuan antara Muhajirin dan Anshar, di dalamnya termasuk orang-orang Yahudi. Orang-orang Yahudi diizinkan untuk tetap memeluk agamanya dan menjaga harta kekayaan mereka. Dokumen itu dimulai dengan nama Tuhan Maha Pengasih Maha Penyayang. Ini perjanjian antara Muhammad dan orang-orang mukmin dan Muslim Quraisy dan Yastrib (Medinah) dan orang-orang yang mengikuti mereka dan orang-orang yang terikat padanya dan orang-orang yang mendukung mereka. Mereka adalah umat yang satu yang berbeda dengan umat yang lainnya. Orang-orang Yahudi akan berbagi tanggungjawab dengan orang-orang Muslim selama mereka berjuang. Orang-orang Yahudi dari Bani Auf akan menjadi satu Ummah dengan orang-orang Muslim. Bagi orang Yahudi agama mereka dan bagi Muslim agama mereka pula..."[7]
Dokumen ini meletakan dasar bagi komunitas politik di Medinah dengan segala perbedaan yang ada: suku, kelompok-kelompok dan agama -- dengan menghormati kebebasan untuk mengamalkan agama mereka masing-masing. Dengan demikian dapat dilihat, bahwa Nabi menyusun suatu persetujuan yang menetapkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama, bukan mendirikan sebuah "negara teologis."[8] Semua kelompok agama dan kelompok suku diberikan otonomi penuh untuk memelihara tradisi dan kebiasaan mereka masing-masing. Dengan demikian, persetujuan tersebut, lebih didasarkan pada konsensus daripada berdasarkan pada paksaan dan ini mirip dengan perkembangan politik negara modern. Berbicara secara historis, suatu kontrak yang berakar dari tradisi kesukuan, toh demokratis, baik dari segi semangat maupun prakteknya. Selain itu, aparat negara yang memaksa, belum berkembang di bagian negeri Arab itu. Meskipun begitu, tekanan-tekanan sosial sudah berfungsi.
Pendukung "negara teokratik" sering berdalih bahwa dokumen Piagam Madinah itu dibuat ketika Muslim masih menjadi minoritas dan hukum Islam memang belum seluruhnya diwahyukan, dan oleh karena itu terhapus oleh perkembangan-perkembangan kemudian. Namun dalih ini tidak dapat dipertahankan, terutama jika kita cermati ayat-ayat Al-Qur'an yang diturunkan kemudian secara terbuka. Pertama, dalam hal lain, sunnah Rasulullah tidak dibatalkan, lebih-lebih lagi dalam persoalan ini, yang merupakan persoalan yang paling vital dalam kebijakan Islam. Kedua, ayat-ayat terakhir Al-Qur'an tidak membatalkan apa yang disepakati di dalam Sahifah. Kalaulah orang-orang Yahudi dihukum, seperti diperintahkan wahyu terakhir, itu karena mereka mengingkari kesepakatan. Sahifah tidak pernah dibatalkan. Semangatnya mempunyai validitas hingga sekarang.
Dokumen itu memberikan landasan, pertama, yang menjamin otonomi bagi kelompok yang beragama, kebebasan untuk memeluk dan melaksanakan suatu agama, adat dan tradisi, serta persamaan hak bagi semua orang. Kedua, dokumen itu jelas menekankan pada sisi demokrasi dan konsensus, bukan pada tekanan dan paksaan. Dari sini, juga penting untuk dicatat, bahwa dalam masalah politik pemerintahan, Nabi tidak menggunakan otoritas teologis. Dokumen itu, setelah kita kaji, sama dengan teori kontrak sosialnya J.J Rousseau. Bagi Rousseau, kebebasan bukanlah kebebasan liberal atau kebebasan individu 'dari' masyarakat, tapi kebebasan yang dilaksanakan di dalam dan untuk seluruh masyarakat. Artinya, manusia dibebaskan oleh masyarakat yang membebaskan. Kebebasan tidak dicapai dengan cara menyingkirkan orang lain, tapi merupakan implikasi positif dari kebebasan untuk semua.[9]
Seperti disinggung di awal bab ini, Al-Qur'an memberikan konsep tentang masyarakat, bukan konsep pemerintahan. Sekali lagi ditegaskan, bahwa Al-Qur'an berangkat dari kesadaran sejarah. Pendekatannya bersifat temporal, namun juga memperhatikan nuansa spasial. Perintah-perintah Al-Qur'an di samping bersifat multi-dimensional juga bersifat transendental. Jika dilihat dalam konteks yang tepat, tidak ada dalam Al-Qur'an sesuatu yang tidak berlaku. Artinya, validitas Al-Qur'an tetap terjaga dalam kerangka spasio-temporal. Dalam mengkaji Al-Qur'an, terasa ada ketegangan antara yang eksistensial dan yang transendental. Dari ketegangan itulah dorongan ke arah kemajuan dan gerakan yang kreatif dapat terpenuhi. Berikut kita sedikit akan menguraikan masalah ini
Lalu, apa tujuan 'negara' Islam? Dengan kata lain, masyarakat yang seperti apa yang ingin diwujudkan Islam? Dalam karya-karya pemikir Islam abad pertengahan yang diikuti oleh para ulama hingga sekarang, pusat perhatiannya adalah pada konsep akhirah. Menurut mereka, seluruh perhatian tertuju pada penciptaan suatu tatanan sosial yang akan mempersiapkan manusia menuju akhirat itu. Hasi dari interpretasi seperti itu (yang sudah menjadi jamak pada periode pertengahan), adalah reduksi agama menjadi murni 'olah spiritual' yang tidak mempunyai muatan transformatif sama sekali. Sementara itu, elit kekuasaan membangun suatu aparatur negara yang refresif dan para ulama telah menjadi bagian dari kekuasaan itu. Akibatnya, Islam harus menjadi 'pelayan' kekuasaan dengan cara melakukan spiritualisasi dan mistifikasi ajarannya.
Perangkat kenegaraan yang sangat menindas (yang sangat bertentangan dengan apa yang dicontohkan Nabi dalam dokumen politiknya) telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Islam, bahkan sejumlah hadist telah dibuat untuk menjustifikasi situasi itu. Ayat Al-Qur'an yang terkenal: "Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri (orang-orang yang berkuasa) di antara kamu. Jika kamu berbeda tentang sesuatu, maka kembalikanlah masalah itu kepada Allah dan Rasul-Nya, apabila kamu iman kepada Allah dan hari kiamat",[10] dijadikan argumen, bahwa siapapun yang berkuasa, haruslah ditaati. Dalam beberapa kasus hadist ini diberi catatan tambahan "sepanjang penguasa itu tetap melakukan shalat".[11] Ibn al-Muqaffa, seorang pemikir politik Islam yang besar, mengutip beberapa hadits Nabi untuk menekankan ketaatan yang total dan tidak bersyarat kepada khalifah. "Siapa yang taat kepadaku", ia mengutip kata-kata Nabi "sungguh telah mentaati Tuhan; dan siapa yang mentaati Imam, sungguh telah mentaati aku". (Di sini, "imam" menunjuk pada khalifah ketika itu). Menurut hadist lain lagi, "Bahkan andai seorang budak berkulit hitam dijadikan raja, maka dengarkanlah dan taatilah dia". Ibn Muqaffa lebih lanjut berpendapat bahwa loyalitas terhadap imam adalah sesuatu yang esensial, bahkan andaipun ia menjadi seorang tiran, karena imam bagaimanapun berada pada 'pengawasan' karsa Tuhan. Untuk mendukung pendiriannya, ia menggelar sebuah hadits dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi pernah berkata:
"Bila Allah bermaksud baik terhadap suatu masyarakat, Dia mengangkat bagi mereka seorang penguasa yang baik dan meletakkan harta benda mereka di tangan orang-orang yang toleran; dan ketika Dia menghendaki memberikan cobaan berat kepada mereka, Dia mengangkat untuk mereka seorang penguasa yang tiran dan mempercayakan harta benda mereka di tangan orang-orang serakah."[12]
Namun sulit untuk mendapatkan dukungan bagi teori-teori politik itu di dalam Al-Qur'an sendiri. Al-Qur'an secara tuntas menekankan pada penciptaan masyarakat yang adil dan egalitarian. Ia berulang-ulang memperingatkan orang-orang beriman agar bersikap adil. "Dan jika engkau memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah di antara mereka dengan adil, sungguh Allah menyukai orang-orang yang adil", kata Al-Qur'an.[13] Allah jelas tidak akan memberikan kekhalifahan-Nya kepada orang-orang yang tidak adil dan para tiran. Lebih lanjut Al-Qur'an mengatakan, "Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman; Sesungguhnya aku akan menjadikanmu Imam bagi seluruh manusia." Dan Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) keturunanku (menjadi pemimpin bagi mereka). Allah berfirman: "janjiku tidak mengenai orang-orang yang dzalim."[14]
Inilah ayat yang paling bermakna dari Al-Qur'an. Nabi Ibrahim diangkat menjadi pemimpin (imam) hanya setelah menunaikan perintah Tuhan dan ketika ia berdo'a untuk menyertakan juga keturunannya agar menjadi pemimpin kelak, maka Tuhan menegaskan bahwa hal itu tidak mungkin bagi orang-orang yang dzalim dan tiran. Politik Islam, sebagaimana digambarkan Al-Qur'an, tidak mengizinkan memapankan ketidakadilan dan kekuasaan yang tiranik. Dzulm (penindasan) dikutuk dengan istilah-istilah yang sekeras mungkin. "Betapa banyak kota yang telah dihancurkan karena penduduknya sangat dzalim", kata Al-Qur'an.[15]
Ada kesalahan yang serius mengenai konsep Islam tentang jihad (perang suci). Jihad tidak dibenarkan untuk menyebarkan Islam secara paksa, atau untuk menjajah dan memperbudak orang lain. Apalagi dengan menjarah dan merusak kota. "Dia berkata, sesungguhnya raja-raja ketika memasuki sebuah negeri niscaya mereka membinasakannya dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina. Dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat.[16] Jihad yang secara harfiah berarti "berusaha keras", dimaksudkan hanya untuk menegakkan keadilan dan perang harus dilakukan sampai semua bentuk penindasan berakhir. Al-Qur'an mengizinkan penggunaan kekerasan dalam perjuangannya melawan kedzaliman dan ketidakadilan. Sebenarnya, pembalasan terhadap penindasan dan kedzaliman dianggap sebagai sebuah kebajikan. "...Selamatkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut nama Allah dan mendapat kemenangan sesudah mengalami tindak kedzaliman. Mereka yang berbuat dzalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali", kata Al-Qur'an.[17]
Aspek penting lain dari masyarakat politik Islam adalah, bahwa Islam menganggap seluruh manusia sama, tanpa perbedaan warna kulit, ras atau kebangsaan. Kriteria satu-satunya hanyalah kesalehan (tidak hanya kesalehan religius dengan melaksanakan ritual agama secara cermat tapi juga kesalehan sosial karena Al-Qur'an mensejajarkan kesalehan dengan keadilan),[18] tidak ada yang lain. "Yang paling mulia di sisi Tuhan adalah orang yang takwa,"[19] demikian Al-Qur'an menyatakan dengan gamblang. Nabi menegaskan hal ini pada saat haji terakhirnya di Mekkah. Sabdanya:
"Orang Arab tak lebih tinggi daripada orang ajam, begitu pula orang ajam tidak lebih tinggi daripada orang Arab; tidak ada perbedaan antara yang hitam dan yang putih, kecuali oleh tingkat kesalehan yang diperlihatkan dalam hubungannya dengan orang lain... Janganlah tunjukkan kepadaku kebanggaan keturunanmu, tapi tunjukkan perbuatan baikmu."[20]
Butir pokok dari masyarakat politik Islam adalah dorongan bagi kelompok lemah untuk terus berjuang melawan kekuatan-kekuatan dominan dalam masyarakat. Nabi dalam tingkat tertentu mengatakan bahwa, "Jihad yang paling baik adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa tiranik."[21] Pidato pertama yang diucapkan Abu Bakar, khalifah pertama yang terpilih setelah wafat Nabi, adalah juga merupakan pernyataan yang luar biasa dalam masalah ini. Setelah memangku jabatan, ia berpidato:
"... Orang-orang lemah di antara kamu bisa menjadi kuat di hadapanku. Aku akan membuat para penindas menyerahkan hak mereka. Orang-orang kuat di antara kamu, bisa menjadi lemah di hadapanku. Insya Allah, aku akan melihat orang-orang tertindas memperoleh hak-haknya kembali."[22]
Adalah dalam semangat untuk melindungi orang-orang lemah, Nabi dalam pesannya pada haji perpisahan, membebaskan semua orang yang mempunyai hutang dari pembayaran bunga, walaupun modal yang dipinjam harus tetap dikembalikan.[23]
Banyak ulama dan teolog mempertahankan secara dogmatis, bahwa negara Islam adalah negara teokratik, dan dalam negara demikian, tidak ada tempat bagi inisiatif manusia dalam arena legislasi, karena Tuhanlah satu-satunya pembuat hukum. Maulana Abul A'la al-Maududi menggambarkan pemerintahan Islam sebagai "Theo-Demokrasi", dan dalam bentuk pemerintahan itu, umat Islam hanya memiliki "kedaulatan rakyat yang terbatas" di bawah kemahakuasaan Allah.[24] Ini adalah posisi yang hampir tak dapat dipertahankan kecuali kalau seseorang menerima pendapat ulama' abad pertengahan sebagai suatu kata akhir dan menganggap tertutup semua pilihan lain. Karya ulama, dengan segala keterbatasan dan kelebihan mereka yang manusiawi, tidak bisa disamakan dengan firman Tuhan.
Jika ditafsirkan dengan tepat, di dalam arena legislasi, Islam juga tidak melumpuhkan inisiatif manusia. Bila syari'ah seperti yang dikompilasikan oleh para teolog zaman-zaman Islam awal diambil sebagai corpus hukum negara Islam, saya khawatir, kedaulatan Tuhan lalu akan disamakan dengan kedaulatan ulama'. Ini juga akan menyatakan secara tidak langsung bahwa semua perkembangan yang akan terjadi di masyarakat sudah diantisipasi oleh para ulama' dengan kompilasi hukum Islam di zaman awal Islam ini. Semua sejarawan hukum Islam sepakat bahwa di dalam mengkompilasi hukum Islam, para fuqaha dipengaruhi secara dalam oleh kondisi zaman dan perkembangan yang terjadi setelah penaklukan wilayah-wilayah, dan itulah sebabnya, mengapa terjadi perbedaan mazhab pemikiran hukum.[25]
Faruq Abu Zayd dengan tepat menjelaskan bahwa Imam Abu Hanifah di Irak dengan pertumbuhan masyarakatnya yang cepat, lebih dihadapkan dengan problem-problem yang kompleks, daripada para ahli hukum Hijaz yang lebih dekat dengan kehidupan orang-orang Baduy, sehingga menghadapi problem yang lebih sederhana. Karena alasan ini Abu Hanifah seringkali terpaksa menggunakan ra'y danm pertimbangan akal dibandingkan para ahli hukum Hijaz dalam memutuskan hukum. Bagi orang-orang Hijaz Al-Qur'an dan Sunnah Rasul sudah mencukupi.[26]
Kini kita berada dalam masyarakat yang sedang berubah cepat. Revolusi Industri telah menimbulkan problem-problem yang jauh lebih kompleks. Sebagaimana ahli hukum Irak yang harus berbeda dengan ahli hukum Hijaz mengingat perbedaan sifat persoalan yang mereka hadapi, maka sesuai dengan situasi dunia modern yang baru dan jauh lebih kompleks, para ahli hukum modern harus berusaha merubah, kapan dan di mana perlu, corpus Islam yang diwariskan kepada mereka. Namun apa yang diperlukan adalah menegakkan semangat teks wahyu dan tujuan-tujuan yang diinginkannya. Tidak pernah menjadi tujuan Tuhan untuk memutuskan hubungan dengan yang transenden dan membawa kebekuan dalam urusan manusia. Fungsi ketuhananlah yang harus membawa pertumbuhan teologis dan pertumbuhan itu membawa serta perubahan. Pertumbuhan dan perubahan sosial demikian membutuhkan perubahan dalam hukum yang mencerminkan realitas sosial zaman permulaan.
Lantas muncul persoalan: Apa yang masih tersisa dari agama yang membentuk hukum-hukum ini? Jawabannya sederhana dan jelas: religiositas. Apakah religiositas itu? Tentu hal ini agak abstrak, namun sama sekali bukan istilah yang mengada-ada. Religiositas menyatakan secara tidak langsung keterlibatan emosi yang tulus dengan visi moral dan spiritual yang menyatakan kepada pengalaman yang agung. Setiap agama jelas menanamkan ke dalam diri pengikutnya suatu visi moral dan spiritual yang unik. Tekanan-tekanan ke arah perubahan tidaklah mempengaruhi keunikan visi ini. Fyzee mendefinisikan keunikan Islam ini dengan tiga karakteristik: Kebenaran (truth), keindahan (beauty) dan kebajikan (goodness).[27] Fyzee mengatakan:
"Islam menekankan kebenaran, keindahan dan kebajikan, nilai-nilai Platonik. Mengenai kebenaran, sedikit sekali peradaban telah menyelamatkan sastra, sains dan filsafat seperti yang telah dilakukan Islam. Ia telah menghasilkan peradaban yang agung. Sarjana-sarjana Islam telah menerjemahkan buku-buku dari bahasa Yunani dan bahasa Sanskerta dan ilmu pengetahuan Islam adalah Bapak ilmu pengetahuan modern. Mengenai keindahan, Islam telah memajukan seni, musik dan arsitektur. Menyangkut kebajikan, Islam memproklamirkan dan mempraktekkan dengan baik persaudaraan manusia. Dengan demikian ia telah membuka jalan bagi konsep demokrasi modern. Ia telah meletakkan fondasi hukum internasional. Pandangan hidupnya diwujudkan di dalam syari'ah, gudang hukum, agama dan etika yang kaya. Syari'ah analog dengan Torah di kalangan orang-orang Yahudi dan Dharma di kalangan orang-orang Hindu."[28]
Tingkat religiositas yang paling agung adalah pencarian terus menerus bentuk-bentuk baru untuk perwujudan visi yang unik ini, baik lewat usaha kreatif maupun kemampuan penalaran. Hukum bersifat empiris, sedangkan visi bersifat transendental. Keseimbangan antara keduanya akan hilang jika terjadi penekanan hanya pada salah satu sisinya. Semata-mata menekankan pada empirisme membuat hukum tidak berlaku. Sebaliknya hanya menekankan aspek transendentalnya saja, membuat ia menjadi terlalu abstrak. Dulu, para ahli hukum Islam yang besar mencapai keseimbangan antara keduanya di pandang dari sudut kenyataan empiris pada masa mereka. Sesuai dengan visi transendental Islam, komponen substantif dari hukum Islam perlu diubah jika perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan sosial menghendakinya. Al-Qur'an menggunakan dua istilah yang sangat bermakna, ma'ruf dan munkar, yang menghadirkan kembali substansi (quintessence) moralitas Islam tanpa dirusak oleh kendala-kendala ruang-waktu.
Ma'ruf adalah sesuatu yang umumnya dapat diterima masyarakat dan munkar adalah sesuatu yang ditolak masyarakat demi menjaga tertib moral. Dengan menggunakan konsep-konsep ini, Al-Qur'an telah membuka peluang yang cukup bagi penafsiran kembali hukum-hukumnya agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan tatanan moral yang baik. Konsep ma'ruf dan munkar akan selalu berubah jika masyarakat berubah, berkembang dan mengalami kemajuan. Ma'ruf dan mungkar merupakan istilah yang sangat komprehensif. Dan keindahan serta keabadian Al-Qur'an terletak dalam pengungkapannya yang abstrak sehingga generasi-generasi penerus dapat mendefinisikannya menurut kebutuhan dan pengalaman mereka. Istilah-istilah ini, yang sangat fundamental bagi ajaran Al-Qur'an, juga cukup komprehensif untuk mencakup moralitas politik. Masyarakat politik (polity) menurut Al-Qur'an adalah masyarakat politik yang berorientasi moral dan dimaksudkan untuk menekankan praktek-praktek politik yang akan menghasilkan kebaikan maksimum bagi masyarakat, yaitu masyarakat Qur'ani yang secara tegas menerima yang ma'ruf dan menolak yang munkar.
Lagi-lagi untuk membangun tatanan sosial yang sehat, Al-Qur'an menggunakan dua istilah lain yang sangat bermakna: mustakbirin dan mustadh'afin yang berarti yang sombong dan yang dilemahkan. Al-Qur'an mengutuk yang pertama dan bersimpati kepada yang kedua. Al-Qur'an menyatakan orang-orang yang sombong (mustakbirin) adalah berdosa.[29] Al-Qur'an juga menegaskan bahwa mustakbirin (mereka yang kuat dan arogan) senantiasa tidak beriman, yakni berdosa karena kufur. Sedangkan mustadh'afin (mereka yang tertindas dan dilemahkan) selalu merupakan kelompok yang pertama beriman, (beriman kepada Tuhan dan melakukan yang ma'ruf). Al-Qur'an menyatakan, "Orang-orang yang menyombongkan diri berkata: "Sesungguhnya kami adalah orang yang tidak percaya pada apa yang kamu imani itu".[30] Dengan demikian mustakbirin dalam bahasa Al-Qur'an adalah orang kafir sejati, sementara mustadh'afin adalah orang mukmin sejati.
Kata kafir merupakan kata yang seringkali disalahartikan. Kata tersebut selalu dipahami dengan pengertian yang tidak sejalan dengan terminologi Al-Qur'an. Selama ini ia selalu digunakan dalam pengertian yang formal sekali. Sesungguhnya kata kafir dalam Al-Qur'an merupakan istilah yang fungsional, bukan formal. Orang kafir yang sesungguhnya adalah orang yang arogan dan penguasa yang menindas, merampas, melakukan perbuatan-perbuatan salah dan tidak menegakkan yang ma'ruf, tetapi sebaliknya membela yang munkar. Demikian juga sebaliknya. Orang mukmin yang sejati, bukan mereka yang hanya mengucapkan kalimat syahadat saja,[31] tetapi mereka yang menegakkan keadilan bagi mereka yang tertindas dan lemah, yang tidak pernah menyalahgunakan posisi kekuasaan mereka atau menindas orang lain atau memeras tenaga orang lain, yang menegakkan kebaikan dan menolak kejahatan.
Dengan demikian masyarakat Qur'ani tidak memberikan tempat bagi penindasan dan pemerasan terhadap yang lemah oleh yang kuat. Perjuangan orang-orang yang lemah (mustadh'afin) akan terus berlangsung melawan mereka yang berkuasa dan arogan (mustakbirin), selama perbedaan antara keduanya tidak dihapuskan. Budaya politik Islam didasarkan pada simpat kepada mereka yang lemah dan dieksploitasi dan benci terhadap mereka yang berkuasa dan menindas. Dr. Habibullah Payman dari Iran mengatakan, "dalam Ideologi Islam permanensi dan kesinambungan revolusi (sampai perbedaan antara yang menindas yang ditindas tidak ada lagi) lebih penting daripada revolusi itu sendiri. Revolusi merupakan salah satu dari beberapa alternatif bagi manusia yang bertanggung jawab. Artinya, manusia harus berusaha mengubah sistem yang didasarkan atas istikbar (keangkuhan kekuasaan dan eksploitasi) dan istidh'af (yakni penekanan dan penindasan) dan penolakan terhadap yang munkar (ketidak-adilan). "Revolusi yang permanen" semacam itu dan perlawanan terhadap arogansi kekuasaan secara terus menerus merupakan bagian dari kultur politik Islam."[32]
Khalifah Ali, salah seorang dari beberapa tokoh terbesar yang dilahirkan Islam pada masa awal, menggambarkan konsep revolusi Islam dengan sangat ringkas dalam salah satu khotbahnya: (Revolusi Islam akan terus berjalan) sampai mereka yang berada dalam status paling rendah di antara kamu menjadi yang paling tinggi dan mereka yang paling tinggi di antara kamu akan menjadi yang paling rendah dan mereka yang melampaui akan dilampaui".[33]
Dasar-dasar masyarakat politik Islam yang ideal, sebagaimana yang diderivasikan dari Al-Qur'an, sangat berbeda dengan apa yang sudah dan masih dilakukan atas nama Islam oleh kelompok kepentingan yang kuat di negara-negara Islam dewasa ini.

ไม่มีความคิดเห็น:

แสดงความคิดเห็น